Sunday, November 24, 2013

The Hunger Games: Catching Fire (2013)

Jeng... Jeng... Jeng... Awalnya saya bingung mau nulis judulnya apa. Karena berdasarkan versi bukunya, judul buku kedua dari Trilogi Hunger Games ini adalah "Catching Fire" tanpa embel-embel The Hunger Games, tapi toh ini ulasan soal film nya jadi ya begini hasilnya hehehe...
Sebelum saya mulai ulasan ini, saya mau mohon maaf dulu kepada para pembaca novel trilogi The Hunger Games, karena jujur saya belum baca sama sekali novelnya, jadi kalau ada yang tidak cocok dari ulasan kali ini maklum aja ya :)

Remember who the real enemy is.
Katniss Everdeen (Lawrence) dan Peeta Mellark (Hutcherson) kembali menjadi 'tribute' atau peserta di ajang Hunger Games ke 75 sekaligus diadakannya Quater Quell ke 3, mewakili distrik 12. Namun kali ini Presiden Snow (Shuterland) lebih hati-hati dalam mengadakan pertandingan berdarah ini. Hal ini disebabkan oleh apa yang dilakukan Katniss pada pertandingan sebelumnya, yang menyulut pemberontakan dari masyarakat kepada Capitol.

Hmm... Saya sempat was-was dengan akhir film ini. Maksudnya akan diakhiri seperti apa film ini. Karena sebenarnya cerita dari trilogi ini punya potensi untuk berakhir mengenaskan seperti Twilight Saga, namun ternyata Francis Lawrence selaku sutradara cukup cerdik membangun cerita sehingga tidak terjebak dalam kisah cinta yang menye-menye. Baiklah, karena bukan pembaca novelnya, saya tidak tau bagaimana karakter Katniss Everdeen di dalam novel, tapi yang jelas bagi saya, Jennifer Lawrence cukup sukses membangun emosi Katniss yang semakin dewasa dan sebenarnya sedikit frustasi dengan posisi dirinya sendiri sebagai pemicu dan lambang pemberontakan.

Gaya setting film ini masih seperti yang film pertama, futuristik dan agak surealis. Isi cerita lebih dalam dari film pertama, lebih politis kalau saya bilang. Dan entahlah, nampaknya sebagai penulis Suzanne Collins sukses membawa para sineas ini membangun dunia the Districts of Panem.

Film ini berhasil juga membuat saya berurai air mata, gak tau mungkin saya nya yang terlalu melankolis, namun sungguh penggambaran perjuangan para pemberontak untuk meruntuhkan sistem Capitol begitu keras. Dan harapan besar mereka terhadap Katniss digambarkan begitu dalam. Hal ini membuat tekanan hebat bagi diri Katniss, karena dengan begitu ia akan kehilangan banyak hal, keluarganya, kehidupannya, dan Gale (Hemsworth). Disisi lain, Katniss harus berperan sebagai "duta Capitol" guna meyakinkan Presiden Snow, berpidato dari satu distrik ke distrik lain. Meskipun dalam hati nya Ia benci sekali melihat permainan ini. Permainan yang bukan hanya sekedar permainan, namun juga sebagai alat agar masyarakat tetap tunduk terhadap Capitol.

Pada akhirnya, trilogi The Hunger Games bisa menjadi trilogi (atau Saga) yang langgeng layaknya the Lord of The Rings atau Harry Potter.

Intermezzo
The Girls on Fire 
Caesar Flickerman: There she is! Katniss Everdeen! The girl on fire!
 Inilah kata-kata yang digaungkan pembawa acara pada malam perpisahan para tribute. Memang Katniss sering memakai gaun yang berapi, namun lebih dari itu Ia menjadi lambang harapan, keberdayaan untuk keluar dari sistem Capitol. Yah, Katniss gambarkan sebagai perempuan tangguh yang gak neko-neko.
Namun Katniss adalah satu diantara banyak karakter perempuan tangguh yang di muncul di film-film. Siapa saja mereka? ada beberapa nama dari film Hollywood yang kepikiran sama saya.

1. Lara Croft
Pemburu harta karun seksi ini salah satu dari perempuan tangguh itu. Yap, Lara Croft juga telah membawa pemerannya, Angelina Jolie, menjadi aktor yang seringkali bermain dalam-film-film laga.

2. Alice
Bukan... Ini bukan Alice in Wonderland. Tapi Alice pembunuh vampir di Resident Evil.

3. Merida
Ituloh, putri bangsa Viking di film Brave. Gading berambut megar ini udah cukup on fire kan?

duh kok kayaknya saya gak Nasionalis gini, yang disebut merk-merk luar terus. Gimana dong? abis enggak kepikiran kalau yang dari film dalam negeri. Mungkin banyak, cuma sayanya aja yang kuper.
Tapi ngomong-ngomong, ada nih Girls on Fire produksi film dalam negeri. Rilisnya pun cuma beda beberapa hari dari The Hunger Games: Catching Fire, ini dia:

1. Butet Manurung
Eit, kalau yang tadi tokoh fiksi, kalau yang ini tokoh asli. Film nya, Sokola Rimba, rilis pada 21 November lalu. Ia merupakan seseorang yang mengusahakan literasi kepada anak-anak di suku Rimba di Jambi.


Detail
Gendre: Action, Adventure, Sci-Fi 
Rate (MPAA): PG-13
Running Time: 146 minutes
Language: English

Producer: Nina Jacobson, Jon Kilik
Directed: Francis Lawrence
Screenplay: Simon Beaufoy, Michael Arndt
Based on: novel "Catching Fire" by Suzanne Collins
Cast: Jennifer Lawrence, Josh Hutcherson, Liam Hemsworth, Woody Harrelson, Donald Sutherland, Sam Clafin, Lenny Kravitz, Elizabeth Banks.
Cinematography by: Jo Willems
Music by: James Newton Howard
Editor: Alan Edward Bell
Distributed by: Lionsgate

Saturday, November 9, 2013

Why Loki?

Loki… Loki… yah, ini Loki versi Tom Hiddleston ya.

Jadi, akhir-akhir ini Loki sedang booming sekali dikalangan cewek-cewek. Kenapa? Saya juga bingung. 
Ada yang bilang karena karakter badboy nya, ada yang bilang karena karakternya sulit ditebak dan sebagainya. 
Tapi kemudian, ada semacam gagasan di pikiran saya, dua spekulasi. Hahaha…
1. Loki ini awalnya adalah tokoh antagonis di film Thor (Thor 1, The Avenger, dan Thor 2). Namun kemudian ada mata jeli yang melihat kemenarikan tokoh Loki ini, yah, cewek-cewek ini (termasuk saya ahiw…). Dan jangan-jangan, booming nya Loki ini diluar dari ekspetasi para pembuat filmnya. Jadi semacam, laris yang tak diinginkan. Iyalah, masa lebih laku tokohvillain daripada superhero nya. 
2. Kemungkinan kedua adalah memang tokoh Loki dibuat untuk digemari. Itu mungkin dalam kamus Hollywood. Industri film besar yang sudah dipastikan tau mengenai resep-resep box office. Ingat tokoh Joker? yap, hampir sama seperti Loki, Joker ini juga villain yang banyak pecintanya. Cuma bedanya, kalau Loki agak manis, Joker lebih sarkastik. Meski keduanya mempunyai senyum yang khas, haha… 
Loki dalam Film
Sebenarnya tokoh Loki ini sudah pernah diangkat dalam film. Salah satunya yang saya ingat, di film The Mask (1994) yang dibintangi JIm Carrey. Di film itu memang Loki tidak muncul secara intensif, tapi tetap menjadi awal mula kekacauan dengan jatuhnya Mask of Loki ke dunia manusia. 
Dan karakter Loki ini bisa jadi modal awal kalau-kalau Hollywood mau bikin prekuel dari Thor misalnya. Bisa aja, Loki di-film-kan secara personal. Begitu kan biasanya bisnis film yang satu ini hehe…

Friday, November 8, 2013

Sokola Rimba (book)

Hmm... mulai darimana ya? Saya juga bingung harus mulai darimana karena terlalu banyak yang bisa diceritain. Tapi mungkin kalau diceritain semua akan nyampur sama sisi emosional saya ketika baca buku ini, hehe... maklum deh, suka kelewat melankolis.

Oke...

Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1997 oleh Insistpress, Yogyakarta. Kemudian kembali dicetak oleh Penerbit Buku Kompas pada Mei 2013. Buku ini juga udah ada versi Inggrisnya, dengan judul Jungle School. Hmm... sebenarnya saya sudah lama tau mengenai Sokola Rimba ini semenjak kuliah. Yah, berhubung jurusan kuliah saya sama dengan tema kegiatan ini.

Memang kegiatan. Sokola Rimba ini bisa dibilang merupakan upaya pendidikan untuk Masyarakat Rimba di Bukit Dua Belas, Jambi. Saya juga awalnya tau cuma sekelebat doang, dan enggak tertarik. Sampai beberapa minggu lalu ada seminar yang diselenggarakan Palawa Unpad, temanya Perempuan dan Petualangan. Salah satu pembicara nya, ya, Butet Manurung ini. Entahlah, di seminar kali ini Butet bercerita lebih gamblang, ketimbang waktu saya ketemu beliau di Pembukaan Inisiasi (semacam ospek jurusan gitu) dua tahun yang lalu. Lalu saya memutuskan untuk beli bukunya di seminar kali itu.
Hehe... Ke makan omongan yak gue :p.

Buku ini bercerita tentang perjalanan Butet Manurung di komunitas Orang Rimba. Kala itu beliau merupakan staf pengajar dari sebuah LSM konservasi di daerah Jambi. Butet menjelaskan awalnya fokus utama upaya literasi (baca-tulis-hitung) kepada Orang Rimba adalah bagian dari upaya konservasi hutan Bukit Dua Belas. Saya suka cara ceritanya, tidak berusaha untuk terlihat intelek, dan itu segar sekali. Diceritakan awalnya beliau sampai di hutan, kehidupan dihutan, sampai pada pemikiran-pemikirannya tentang hakikat pendidikan untuk Orang Rimba yang sebenarnya.

Butet Manurung mengutip kata-kata Parsudi Suparlan tentang pendidikan untuk masyarakat adat,
"Mengubah dan mengarahkan kehidupan suatu masyarakat tidak mungkin berhasil jika mereka tidak mersakan keuntungan dari perubahan tersebut" -- Parsudi Suparlan
Jadi, bagi Butet cara-cara belajar yang sesuai untuk anak-anak Rimba adalah yang dapat berefek langsung pada kehidupan sehari-hari mereka. Misalnya, awal nya anak-anak itu diajar cara baca-tulis-hitung. Namun kemudian ketika dirasa perlu mereka mengetahui tentang geografi, seperti untuk mengetahui luas tanah mereka, maka diajarkanlah itu. Dan kebutuhan pelajaran di tiap rombong (kelompok Orang Rimba) itu berbeda-beda, ada yang lebih intens cara menghitung, baca, dan sebagainya. Tergantung kebutuhan tiap rombong tersebut. Ini menarik, ketika belajar bukanlah mejadi suatu keharusan melainkan menjadi suatu kebutuhan hihi... Ya kita mungkin terbiasa dengan konsep harus belajar bukan butuh belajar. Dari SD sampai tua begini saya juga familiar dengan konsep pendidikan yang legek begitu.

Selain cerita tentang urusan belajar, di buku ini juga menceritakan tentang kehidupan Orang Rimba. Bagaimana pola hidup mereka, adaptasi mereka dengan orang terang (sebutan Orang Rimba untuk orang kota), interaksi mereka dengan para transmigran, dan situasi disekitar Bukit Dua Belas yang bisa dibilang cukup politis ya. Jadi, di sekitar Bukit Dua Belas ini banyak terjadi illegal loging yang gerakannya halus sekali. Juga tentang status Bukit Dua Belas sebagai Cagar Biosfer dan tetek bengeknya. Biasa deh, urusan kebimbangan pemerintah. Ada yang menarik tentang pernyataan Butet mengenai posisi perempuan pada Orang Rimba. Penuh aturan dan pamali, namun alih-alih protes atau respon kebanyakan perempuan kini tentang aturan adat, Butet melihat hal ini jauh lebih dari sekedar aturan dan pamali. Baginya, hal semacam ini adalah upaya Orang Rimba untuk menjaga perempuannya. Ya, di salah satu bagian dari buku ini menceritakan tentang tabu untuk menyebutkan nama anak gadis mereka kepada orang asing.

Butet juga mengenalkan murid-muridnya di buku ini. Lucu-lucu deh hehe... Diperkenalkan secara jenaka, lucu, dan hangat tentang karakter masing-masing "aktor" ini. Nah, ternyata belajar baca-tulis-hitung tidak bisa dibatasi sampai situ saja. Dalam buku ini diceritakan tentang kemajuan anak-anak Rimba setelah mengenal huruf dan angka, mereka kemudian mulai bertanya tentang hal-hal yang mungkin saja bisa menohok kita. Misalnya pertanyaan mereka tentang para penebang kayu yang menjadi pemandangan sehari-hari mereka.

"Menjaga hutan memang sulit sekali, orang pemerintah saja tak bisa. Apalagi saya yang baru bisa baca, tulis, hitung..." -- Peniti Benang
Buku ini juga penuh pandangan-pandangan Butet tentang "tesis-antitesis" posisi
Orang Rimba kini. Mereka seperti dikelilingi perubahan yang sering dibilang modern. Diantara berubahnya kondisi sosial, bahkan ekologis, mereka sudah pasti beradaptasi. Misalnya dengan sudah memakai baju atau mempunyai motor (begitu Butet menggambarkannya di buku ini). Namun, apakah salah jika Orang Rimba memiliki motor atau memakai baju? mereka juga bukan "orang susah" seperti yang banyak digambarkan media-media kini. Mereka memang hidup dengan caranya sendiri.

Akhirnya, saripati dari buku ini yang saya terima adalah tentang bagaimana pendidikan bukan saja untuk menjadi pintar tapi untuk berdaya. Pendidikan menjadi alat bagi Orang Rimba yang terperangkap perubahan modern untuk tetap bisa eksis sebagai dirinya sendiri. Selain itu, bagian lain yang lebih menginspirasi saya adalah tentang seorang guru. Sederhana ya...

Disini, di buku ini, jelas, murid-murid yang menjadi hebat ini lahir dari guru yang tangguh. Guru yang tidak memaksa anak-anaknya untuk menjadi apa, tapi ia membuka jalan untuk anak-anaknya. Maka dengan begitu, guru sebenarnya bukan hanya menjadi pengajar atau pendidik, bahkan mereka lebih mulia dari itu.

Udah, hal itu yang bikin saya berkata, WOOOW....

Dimana Hutan Bukit Dua Belas?

Taman Nasional Bukit Duabelas adalah taman nasional yang terletak di Sumatra, Indonesia. Taman ini merupakan taman nasional yang relatif kecil, meliputi wilayah seluas 605 km².
Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan perwakilan bagi hutan hujan tropis di provinsi Jambi. Bagian utara taman nasional ini terdiri dari hutan hujan primer, sementara sisanya merupakan hutan sekunder, sebagai akibat dari penebangan hutan.
Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) adalah taman nasional yang terletak di Provinsi Jambi, Indonesia.(wikipedia)

Di-film-kan...

Tadaa... Miles Films itu peka sekali ya sama cerita-cerita semacam ini. Setelah Atambua 39°, kembali mengangkat kisah tentang anak negeri. Rilis pada 21 November 2013. Hmm... menarik ya


Lihat wawancaranya disini


Detail Buku
Judul: Sokola Rimba
Penulis: Butet Manurung
Editor: Tim Sokola
Desain Sampul: Cindy Alif
Foto Samput: Aulia Erlangga
Halaman: xxviii + 348 hal
Tebal Buku: 14 cm x 21 cm
Terbit: Mei 2013
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
ISBN: 978-979-709-711-0

Sunday, November 3, 2013

Thor: The Dark World (2013)

Hayoo... ada yang nunggu film ini enggak, hehe.. Well, ini udah masuk musim apa sih? Fall? yah kalau salah mohon maaf ya, maklum amatiran haha.. Fall, autumn, biasanya banyak diisi oleh film-film horror tapi kalau memang benar ini masuk Fall, berarti Thor ini unik ya, semacam menjadi pilihan lain.

Ini sekuel dari film Thor (2011) pertama, emm, yah saya gak nonton jadi gak bisa cerita banyak. Tapi masih diperankan oleh aktor-aktor lamanya. Kali ini Thor (Hemsworth) harus menyelamatkan 9 dunia dari serangan Malekith (Eccleston) yang ingin mengambil cahaya dari dunia dan mengembalikannya pada kegelapan. Well, cerita akan sangat klasik jika tidak diberi bumbu lain. Disisi lain, dalam internal keluarga kerajaan Asgard sedang terjadi pergolakan, yah bisa dibilang gitu deh. Odin (Hopkins), menginginkan Thor menggantika posisinya sebagai raja, namun sebaliknya Thor tidak menginginkannya.

Oke, Hollywood memang tahu celah membangun cerita sehingga dapat diterima di berbagai selera penonton. Dan bagi saya, justru cerita menjadi menarik ketika tokoh Loki (Hiddleston) muncul, ahay!. Loki yang penuh ilusi begitu marah ketika tahu bahwa ibunya tewas. Loki menjadi karakter yang sulit ditebak, sehingga memunculkan twist-twist di beberapa plot. Meski pada akhirnya Loki tetap dibiarkan pada posisinya yang abu-abu (atau antagonis?).

Loki: What makes you think you can trust me?
Thor: I don't

Penggambaran Asgard, yah, bisa diterima dengan segala bentuk bangunan yang semi-futuristic itu, juga kapal-kapal perang Malekith yang justru mengingatkan saya pada Star Trek. Lah, dua-duanya sama-sama di luar angkasa, cuma bedanya Star Trek itu ceritanya di masa depan, dan Thor berasal dari mitologi Nordik.

Ehem, lucunya film ini kedatangan cameo dari salah satu The Avanger (sorry, spoiler). Dan banyak hal-hal jenaka lainnya khas kisah-kisah pahlawan Marvel. Yap, Marvel tetap menjaga tipikal film-film pahlawannya yang 'ceria'.

Overall, lumayan buat tontonan segar diakhir minggu. Dan kalo gak salah ada 3D nya, boleh dicoba. Ngomong-ngomong untuk film superhero macam gini diberi rating 88 % dari Rottentomatoes cukup diluar ekspetasi ya. So, dijamin kan hahaha... Selamat menonton.

Nb. Tunggu sebentar setelah film selesai, ada potongan scene yang bisa diliat ;)

Thor dan Mitologi

Thor merupakan dewa petir dalam mitologi nordik. Mitologi nordik sendiri berkembang di wilayah Eropa Utara. Mitos-mitos ini ditulis dalam Edda berupa prosa dan puisi. Thor merupakan anak Odin dan ibunya adalah raksasa wanita bernama Jord. Senjata andalan dari dewa ini adalah Mjolnir, semacam godam yang dipercaya sebagai lambang perlindungan pada masyarakat Viking.

***
Detail
Running Time: 120 min
Rate (MPAA): PG-13
Language: English
Gendre: Action, Fantasy

Producer: Kevin Feige
Production: Walt Disney Pictures, Marvel Studios
Director: Alan Taylor
Screenplay: Christoper Yost, Christoper Markus, Stephen McFeely
Based on: Thor by Stan Lee, Larry Lieber, Jack Kirby
Music by: Brian Tyler
Editor: Dan Lebental, Wyatt Smith
Cinematography: Kramer Morgenthau
Cast: Chris Hemsworth, Anthony Hopkins, Tom Hiddleston, Natalie Portman, Christoper Eccleston, Idris Elba, Rene Russo.



HALOHA!

AHA! LOHA! udah berapa lama ya saya gak ngisi blog ini. Gila emang social media makin banyak aja, bikin kerjaan baru aja hahaha... Selain itu juga tugas-tugas kuliah makin tega. Oke, rencana awal nya malam ini saya mau mulai nyusun topik penelitian buat skripsi alias UTP, tapi biasa deh, gak fokus. Penyakit lama. Mamah sih udah sering nanya-nanya soal skripsi saya, tapi jawaban saya ya, mengecewakan gitulah...

Baiklah, topik tulisan malam ini kita bikin di kertas yang berbeda aja yah, anggap aja ini sebagai prolog salam jumpa setelah beberapa lama gak bertemu ya hahaha... :)