Monday, February 28, 2011

Si Peniru Ulung

Semenjak kost aku jadi lebih sering masak nasi sendiri. Biar bisa ngirit uang sampe akhir bulan. Dan kalau mau tau, memasak nasipun ada seninya tersendiri. Bagaimana agar nasi bisa matang secara pas. Tidak terlalu keras ataupun terlalu lembek. Bagaimana agar nasi bisa awet sampai dua-tiga hari. Bagaimana menyiasati agar tidak terlalu lama dipanaskan dalam rice cooker. Yah... dan sebagainya lah. Sebenarnya bukan itu yang ingin aku ceritakan. Aku tau teori memasak nasi dari mamah. Diajarkan secara lisan dan dipraktekan dengan penuh keberanian sendirian. Haha...

Mamah hanya memberitahu pokok-pokok memasak nasinya saja. Untuk hal detailnya aku lebih banyak memperhatikan bagaimana mamah memasak nasi atau tante ku (atau nenekku, yang paling ahli) memasak nasi. Suatu saat, ketika aku sedang berada dirumah, aku memasak nasi untuk makan malam. Dan komentar mamah:
"enak nasinya. Pasti di 'akeul' ya tadi? dikasih tau siapa harus diakeul?" kata mamah berlalu melanjutkan makannya.
"Hehe... enggak dikasih tau siapa-siapa. Aku kan sering ngeliat aja mamah kalau abis masak nasi begitu." jawabku.
Diakeul itu dalam adat sunda atau yah dalam keluarga ku artinya membalikan nasi yang baru matang. Jadi nasi-nasi yang berada dibawah (ditempat rice cooker) dibalikan atau diaduk sehingga berada diatas. Maksudnya agar nasi-nasi yang paling bawah bisa matang secara merata dan enak untuk dimakan. Juga untuk melepaskan uap.

Aku berpikir. Hal sekecil itu aku pelajari dari memperhatikan kemudian meniru apa yang sehari-hari aku lihat. Lalu aku sadar sampai sebesar inipun aku masih mengandalkan proses peniruan terhadap lingkungan yang kemudian aku terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi berbeda ketika aku masih kecil proses peniruan tersebut berlangsung secara otomatis, melihat lalu meniru tanpa ada analisa terhadap kegiatan tersebut. Mungkin sekarang proses peniruan itu masih terus terjadi pada diri aku namun melalui berbagai filter yang sudah tertanam lama semenjak aku kecil. Tertanam melalui keluarga dan lingkungan dimana aku dibesarkan.

Aku mencatat hal menarik di kuliah waktu itu. Seorang anak adalah peniru ulung (good imitator) meskipun pada waktu tertentu proses peniruan tersebut mulai diselingi analisis dan logika didalamnya. Dan seorang anak juga mampu mengembangkan diri diluar lingkungan / batasan tertentu. Seperti yang terjadi pada tokoh legendaris Helen Keller, berikut kisahnya:

Helen Adams Keller (lahir di Tuscumbia, Alabama, 27 Juni 1880 – meninggal di Easton, Connecticut, 1 Juni1968 pada umur 87 tahun) adalah seorang penulis, aktivis politik dan dosen Amerika. Ia menjadi pemenang dari Honorary University Degrees Women's Hall of Fame, The Presidential Medal of Freedom, The Lions Humanitarian Award, bahkan kisah hidupnya meraih 2 piala Oscar. Ia menulis artikel serta buku-buku terkenal, diantaranya The World I Live In dan The Story of My Life (diketik dengan huruf biasa dan Braille), yang menjadi literatur klasik di Amerika dan diterjemahkan ke dalam 50 bahasa. Ia berkeliling ke 39 negara untuk berbicara dengan para presiden, mengumpulkan dana untuk orang-orang buta dan tuli. Ia mendirikan American Foundation for the Blind dan American Foundation for the Overseas Blind.


Ia lahir normal di Tuscumbia, Alabama pada 1880. Pada usia 19 bulan, ia diserang penyakit misterius yang menyebabkannya buta dan tuli. Ia jadi liar dan tidak dapat diajar pada usia 7 tahun, sehingga orang tuanya bertemu Johanna (Anne) Mansfeld Sullivan Macy untuk menjadi guru pribadi dan mentor. Annie memegang tangan Helen di bawah air dan dengan bahasa isyarat, ia mengucapkan "A-I-R" pada tangan yang lain. Saat Helen memegang tanah, Annie mengucapkan "T-A-N-A-H" dan ini dilakukan sebanyak 30 kata per hari. Helen diajar untuk membaca lewat huruf braille sampai mengerti apa maksudnya. Helen menulis, "Saya ingat hari yang terpenting di dalam seluruh hidup saya adalah saat guru saya, Anne Mansfield Sullivan, datang pada saya." Dengan tekun, Annie mengajar Helen untuk berbicara lewat gerakan mulut, sehingga Helen berkata, "Hal terbaik dan terindah yang tidak dilihat atau disentuh oleh dunia adalah hal yang dirasakan di dalam hati." Ia belajar bahasa Perancis, Jerman, Yunani dan Latin lewat braille. Pada usia 20 tahun, ia kuliah di Radcliffe College (cabang Universitas Harvard), khusus wanita. Annie menemani untuk spell textbooks, huruf demi huruf, yang diletakkan ke tangan Helen. Hanya 4 tahun, Helen lulus dengan predikat magna cum laude. (id.wikipedia.org)

Kemudian aku berpendapat bahwa, tetap saja seorang anak akan membutuhkan figur bagi dirinya. Yang bisa diperhatikan lalu ditiru. Figur-figur ini yang akan membentuk dirinya dimasa depan. Namun, sepertinya sosok figur ini tidak bisa diatur karena si anak itu sendiri yang menentukan sosok figur tersebut.




Note: Haha... kesampean juga nulis tentang ini. Setelah berkutat agak lama dengan tugas dan mood baik datang. Maka jadilah tulisan ini. Huohoho!!!

Sunday, February 20, 2011

Campus in The Morning

Selasar FISIP Unpad, Jatinangor
Sebenernya ini tulisan iseng gara-gara waktu itu motret kampus pagi hari. Kampus selalu sepi kalau pagi gini. Entah kenapa orang-orangnya senang sekali datang tepat yang sangat 'tepat' waktu ke kampus. Jam sudah menunjukan waktu 8 kurang 5 menit dan kampus masih saja sepi. Kampus baru beranjak ramai nanti jam 8 lewat 10 dan hanya pada tiga hari diawal minggu biasanya kampus bisa sangat ramai. Sisanya, hanya segelintir mahasiswa yang masih saja berkutat dengan urusan-urusannya dengan senang hati datang ke kampus, hehe...

Mahasiswa seperti saya ini, yang sering tertipu jam, pagi-pagi sudah ngepot ke kampus karena melihat jam sudah mepet ke angka 8, biasanya merasa agak lega--atau mungkin mmm apa ya bahasanya-- melihat kampus yang masih sepi. Untungnya kantin fakultas sepertinya mengerti ada mahasiswa semacam ini yang sendirian menyusuri selasar yang dingin pagi itu. Mencari sesuatu yang bisa dimakan untuk mengganjal perut sampai siang nanti.

Parkir FISIP Unpad, Jatinangor
Beruntunglah yang ingin menggunakan fasilitas hotspot di area kampus karena pagi adalah waktu yang sangat baik untuk surfing internet secara LANCAR dan GRATIS. hahaha....

Sudah ya.. tulisan ini hanya sekedar intermezzo di hari minggu santai ini sebelum saya melakukan aktivitas cuci mencuci atau beres membereskan kamar.

Monday, February 14, 2011

Cerita Cinta

Cinta mempunyai berbagai bentuk
***

Disebuah rumah yang cukup untuk kalangan menengah keatas.
Rico: "happy valentine... I love you" menyunggingkan senyum termanisnya--setidaknya menurutnya.
Karen: " I love you too..." menjawab secepetanya dengan ketus tanpa mengalihkan perhatiannya pada tv yang sudah berasap itu.
Rico: "F**k.." mengumpat lalu menegak minuman dingin di mug itu.
Prang!!! Karen melemparkan asbak ke arah Rico. Rico menatapnya tajam dan dingin.
Keduanya mengatur nafas. Suasana semakin memanas.
***

Pagi itu. Ibu Eli mengaduk tehnya dalam diam. Menatap jam dinding berulang kali.

"Bu, liat baju Tiya yang merah itu gak? kayaknya kemaren dijemuran ya. Kok gak ada." Tanya Tiya mondar-mandir repot membereskan barang-barangnya

"Kenapa sih kamu gak tinggal disini aja Ya?" tanya Bu Eli

"Hmm... Jauh bu kalau berangkat dari rumah. Lagian Tiya bukan anak kecil lagi kok. Udah bisa jaga diri." Jawab Tiya sambil mengingat-ingat barang yang kira-kira diperlukan lagi.

"Ibu tau kamu udah bisa jaga diri. Tapi masalahnya sekarang sepertinya Ibu yang tidak bisa jauh dari kamu." Ucap Bu Eli kemudian menyeruput teh hangat itu.

Tiya tertegun. Dirasakannya suasana. Begitu sepi hanya terdengar sapuan si bibi yang sedang menyapu halaman.
Tiya duduk di bangku teras itu. Disebelah Bu Eli. Mengambil cangkir Bu Eli dan ikut menyeruput tehnya.

"Aku berangkat nanti sore kok..." Ujar Tiya
***

 "Ah orang ini..." batin Sofia. Sofia suka sekali dengan lelaki itu. Baik dan bertanggungjawab pikirnya.
Kemudian Sofia membuka akun twitternya dan me-retweet sebuah status dari akun Ayat Alquran. Tak berapa lama status baru muncul.
"ah.. Marco.." Sofia senang sekali melihat nama itu. Namun... Marco me-retweet sebuah status dari akun Alkitab.
Sofia menatap layar komputernya. Kosong. Ah....
***

Sunday, February 6, 2011

Gontai


Sumber Gambar: mricons.com
Gadis itu melangkah gontai. Terlalu banyak rasa yang dipendamnya. Kekesalannya memuncak di hari Jumat ini. Manipulasi batin yang berlebihan membuatnya sering ingin menangis. Ingin marah. Ingin menampar teman-temannya. Ia merasa kadang harus melakukan sesuatu. Sesuatu yang bisa menampar hati teman-temannya. Tapi tak pernah ada kesanggupan. Mungkin Ia menjadi gadis yang naïf. Yang selalu mamandang kesalahan dari sisinya. Tapi justru itu yang selalu membuatnya lelah.

Gadis itu bejalan dengan bibir terkatup. Rekat. Kencang. Ia melancarkan umpatan-umpatan pada teman-teman yang memanggilnya. Ia sudah tidak peduli. Matanya terfokus kedepan meskipun entahlah apa yang ia lihat. Dingin. Tak ada mata yang menyipit karena tarikan pipi yang tersenyum.

“aduuh bete banget gw. Dasar guru sialan,” umpat teman si Gadis
Gadis diam.
“Lu langsung pulang?!” Tanya temannya.
Gadis diam.
“woi! Jalannya lewat sini,” teriak temannya.
“BODO!” balas si Gadis.

        Kemudian Ia mempercepat langkahnya. Matanya semakin dingin bahkan mungkin lebih menjurus pada kejam. Bibirnya terkatup lebih rekat dan kuat. Ia lelah dengan semua tingkah teman-temannya yang selalu membuatnya kesal. Kadang Ia merasa babu dari teman-temannya. Kadang Ia merasa bertanggungjawab atas kelakuan temannya. Kadang Ia merasa ingin menampar bualan temannya yang ia tahu semuanya hanya omong kosong. Kadang Ia ingin berkata, “tetep aja pengangguran!” pada sesuatu hal yang tak bisa Aku tuliskan disini.

        Gadis itu memang bukan orang yang senang berkisah seperti halnya temannya itu. Ia terlalu memandang miris pada bualan orang. Karenanya nasib membawanya pada teman-teman yang rata-rata ahli bercerita itu.

        Angin mengibaskan rok penjang abu-abunya. Matanya masih dingin. Bibirnya masih terkatup kencang. Sambil menunggu bis Ia mulai memotivasi diri sendiri seperti yang biasa Ia lakukan. Ia selalu senang mengamati alam. Dirasakannya angin yang mengibas roknya bagai malaikat meniupkan sejuk di hatinya. Langit sehabis hujan merona. Menyadarkan bahwa Ia hidup di sebuah planet bagian dari galaksi bimasakti. Bahwa planet ini besar, penuh sejarah, bulir kisah, dan tua.

        Dilambaikan tangannya pada bis yang meraung penuh karat lalu naik…


Sawangan, 14 Maret 2009
6:05:02 PM

Friday, February 4, 2011

Harapan Dalam Ombak


Ombak melambai-lambai. Bersahut dengan desiran alam. Menyambut debu-debu pantai yang pasrah tersapu air. Terobang ambing tak bertujuan.Timbul tenggelam. Rissa duduk diam di batang pohon kelapa yang tumbang malam tadi. Matanya tertuju ke arah lautan. Berharap akan sesuatu. Berdoa agar semuanya baik-baik saja.

”rissa!” teriak seseorang dibelakang sana.
Rissa enggan bergegas. Matanya masih berharap lebih jauh.
Terasa tarikan oleh seseorang pada lengan Rissa. Ia bertahan. Namun orang itu menarik terlalu kencang sehingga Rissa pun menyerah. Gontai Ia mengikuti si orang itu menariknya. Rissa menangis dalam diam. Pipinya basah kuyup oleh asinnya air mata.
”aku tidak mau pergi!” teriak Rissa.
Ia meronta, melepaskan cengkraman rang yang memegang lengannya tadi. Rissa berlari ke laut. Berharap laut melalapnya juga seperti laut menarik pasir-pasir pantai. Kini dua orang mengejarnya. Mencengkram tangannya lebih kencang lagi. Rissa lunglai dalam seretan kedua orang tadi.

Berjalan dengan langkah berat Rissa berdoa. Untuk harapan-harapannya. Rissa naik ke mobil bak terbuka itu.Beberapa orang yang ada di dalam memperhatikannya. Menatap sia-sia kearah Rissa. Mereka orang-orang tak punya pilihan. Bahwa punya pilihan adalah suatu anugerah. Mungin laut telah menelan mentah-mentah harapan Rissa. Tapi bisa saja disamapaikan ke langit.

Mobil bak menderu kasar. Meninggalkan pantai. Semakin jauh. Sampai Rissa tak bisa menangis lagi. *



2 Desember 2010, 12:30
Jatinangor
 Sumber Gambar: fedoraproject.org