Tuesday, May 16, 2023

Ruang Gelap Dunia Maya

Photo by George Becker: https://www.pexels.com/photo/close-up-of-blue-candle-against-black-background-333513/


Aku cat gelap kuku-ku

Kupotong ujung-ujung rambutku

Kupakai baju-baju yang tak mungkin

Atau setidaknya tidak berani kupakai saat muda dulu

Dalam ruang-ruang gelap dunia maya

Aku menyelinap masuk

Bertemu dengan mereka-mereka yang juga tersamar

Kami saling waspada, tapi juga saling melempar umpan

Mencoba riak sambil berharap tak tenggelam

Ruang gelap dunia maya mempunyai gelompangnya sendiri

Setiap gelombang memanggil siapa saja yang sesuai 

Entah mengisi kekosongan, mencari harapan, bahkan mengisi kantong-kantong uang

Ruang gelap ini memiliki pusaran 

Ku bilang tadi, kami saling waspada

Pusaran bisa merenggut siapa saja yang lengah dan hanyut terlalu pada gelombang

Kita saling menatap dalam layar

Tidak harus mata dengan mata 

Sambil terus menggumamkan niat dalam hati; "suatu saat ini harus berhenti"

Tapi gelombang tahu betul caranya menyelinap dalam kosong

Memberikan sinar dan wangi dalam putus asa

Memberi kedipan pada kantong-kantong lusuh yang perlu diisi


Dalam ruang gelap yang riuh ini, aku kadang mengobservasi

Siapa saja yang bertandang?

Sedang apa mereka?

Seringkali aku mengernyitkan dahi

Atau kapan waktu, penuh kekagetan

Jangan lagi dihitung tiap-tiap pikiran yang membuatku tak habis pikir

Ruang gelap yang pengap

Apak dan lembab

Yang setiap sapa hampir tak ada bedanya untukku

Ruang gelap dunia maya, membekukan perasaan

Menyarukan intuisi, disaat yang sama tak ada habisnya curiga

Sampai tiba saatnya kau merasa hatimu beku, tak bergeming, keruh

Persepsimu menjadi sama

Apatis, pragmatis


Jakarta, 25 November 2022


Monday, April 17, 2023

Puisi Kesedihan Jadi-jadian

Photo by James Wheeler: https://www.pexels.com/photo/lake-pebbles-under-body-of-water-1574181/

Menyusuri sungai dan ngarai

Sambil dengan seksama menegaskan suara angin

Dan bau-bauan tumbuhan yang menguar di udara

Kesedihan tak beralasan, membawa pada lamunan yang tumpang tindih

Memori me-rewind banyak cerita

Semakin panjang pula catatanku akan pertanyaan pada diri sendiri

Entah sejak kapan mulainya aku kembali menulis puisi

Dibersamai lagu yang itu lagi-itu lagi

Puisi tanpa rima, tanpa kedalaman konteks, hingga sedikit lagi dianggap puisi jadi-jadian

Kesedihan kali ini menumbuhkan rasa-rasa pahit dalam hati

Rasa pahitnya seperti sisa-sisa pahit puyer di ujung lidah

Yang sudah diguyur air pun, kau masih bisa merasakan pahitnya

Aku takut kesedihan ini menggelinding, makin besar, dan jadi bola liar

Kepada sungai dan ngarai, kubenturkan lamunanku

Kutenggelamkan kesedihanku

Sekejap

Meski tak kan hilang begitu saja.


Jakarta, 17 November 2022


Monday, March 27, 2023

Bisik Malam

Photo by Mhmd Sedky: https://www.pexels.com/photo/silhouette-photo-of-house-3286807/
Photo by Mhmd Sedky: https://www.pexels.com/photo/silhouette-photo-of-house-3286807/























Aku tahu malam bersinar dalam temaram bulan di luar

Malam tidaklah sunyi

Penuh bebunyian, gemersik, dan sahut-sahutan yang lirih bersama semilir angin

Kusibak sedikit dari jendela

Sambil takut-takut menatap malam

Aku sudah 30 tahun. Tapi puisiku masih saja seperti tulisan perempuan kecil berusia 10 tahun

Malam sering menyisakan kesepian

Makin-makin terasa saat usiamu bertambah

Katanya, bukan salahku -- kamu jadi merasa kesepian

Mari-mari, kupeluk dalam temaramku

Dengarkan bebunyian yang selalu kau takutkan

Dapat kau cium wewangian kembang yang hanya mekar saat matahari redup

Malam berkata -- lagi-lagi, kau perlu merasakan sejenak terhadap apa yang kau takutkan

Dikatakannya, aku tahu, kau penggemar rahasiaku

Dan kau tahu, malam adalah penjaga rahasia terbaik

Gelapnya menyerap segala emosi yang beterbangan

Lagi-lagi, malam punya banyak saku untuk menyimpan keluh-kesah, air mata, dan lamunan.


Jakarta, 11 Desember 2022

Sunday, February 16, 2020

Little Women (2019): My First Classic Drama Movie, I think...


Hasil gambar untuk little women 2019

Judul di atas ini sungguh merepresentasikan apa yang saya rasakan, sepertinya Little Women (2019) menjadi film drama klasik pertama saya. Setelah mengingat dengan seksama, ya, rasanya tidak ada film dengan gendre drama klasik yang pernah saya tonton.

Mungkin juga karena saya baru merasakan ambience film seperti ini. Malah, tetiba saya ingat, ambience seperti ini muncul ketika menonton Dead Poet Society (1989), yang filmnya rilis jauh dari Little Women versi 2019. Bukan apa-apa, artinya Little Women ini berhasil mempertahankan ambience otentik dari ceritanya, tidak jatuh nge-pop ala Hollywood masa kini (Hollywood masa kini yang banyak menyisipkan glorifikasi aktivisme, yang seringkali, jatuhnya, klise. Sok tau bgt ye gue...).

Little Women merupakan adaptasi dari novel Louisa May Alcott yang dipublikasikan tahun 1868 dan 1869 (menurut info dari Wikipedia, novelnya dipublikasi dalam 2 volume). Saya kurang tahu mengenai novel-novel yang rilis sekitar tahun tersebut, namun sepertinya, novel Little Women banyak memberikan pengaruh pada pembaca sastra Amerika saat itu, khususnya pada tema idealisme perempuan, yang merupakan barang baru pada masa itu.

Secara singkat, film ini menceritakan tentang March bersaudara - Meg, Jo, Amy, dan Beth - dan kehidupan mereka sebagai perempuan Amerika pada masa Civil War. Meski cerita ini dibuat jauh dari era milenium, menurut saya, tetap memiliki relevansi dengan realita jaman sekarang. Mungkin karena transisi setiap manusia tidak pernah berubah dari jaman ke jaman, transisi dari masa kecil ke kehidupan dewasa. Juga pergulatan perempuan tiap jaman, jangan-jangan selalu memiliki kesamaan, sehingga pergulatan yang muncul dalam cerita ini, nyatanya, kita juga familiar dengan pikiran-pikiran tersebut.

"Amy March: ... So don't sit there and tell me that marriage isn't an economic proposition, because it is. It may not be for you but it most certainly is for me."

Baik, kita obrolin soal filmnya ya...

Saoirse Ronan selalu menjadi favorite ku *love*. Sejak menonton Lovely Bones (2009), saya selalu menganggap Ronan seperti the hidden gems (duileeh...). Bahkan pada scene pembuka saja, saya sudah jatuh hati, gemas ya... Oh, tapi itu sebelum Florence Pugh bersuara pada dialog pertamanya, setelah itu, saya setuju kalau Pugh layak diganjar nominasi Best Supporting Actress pada Oscar 2020 ini.

Belum lagi Timothée Chalamet (monmaap nih, sampai sekarang saya masih bingung nyebut namanya, calamet gitu ya? calamet ulang tahun), yang hype-nya terus menanjak sejak The King  (produksi Netflix, setidaknya itu pertama kali saya tahu Chalamet). Bukan hanya hype, Chalamet ini, good...

Jajaran pemain yang memanjakan mata, ditambah set kostum yang, aduh, bikin senang deh liatnya... 

Untuk plot ceritanya yang maju-mundur, maafkan kelemotan hamba, pada awal-awal cerita tercecer, kebingungan apakah scene ini flashback atau bukan, untung saja cerita nan manis ini mengalun seperti layaknya musik, lama-lama kita paham ritmenya.

Plot maju-mundur ini, saya sadari merupakan cara Greta Gerwig, sang sutradara, menggambarkan transisi kehidupan March bersaudara (sepertinya begitu ya...). Kehidupan masa kanak-kanak yang penuh mimpi, optimisme, kenaifan, ambisi, menuju kehidupan dewasa, dimana mereka kemudian akhirnya harus berkompromi dengan banyak hal.

"Marmee March: I hope you'll do a great deal better than me. There are some natures too noble to curb, too lofty to bend."

Saya suka cara Gerwig mengakhiri cerita ini. Alih-alih menjadikannya "fairy tale", Ia justru, seperti melemparkan pertanyaan balik pada penonton, "ending seperti apa yang kalian inginkan?".
Seperti halnya kita pada titik balik kedewasaan, "kehidupan macam apa yang ingin kita jalani?"


Score: 4/5


Monday, January 6, 2020

NKCTHI (2020): Film Pembuka 2020, Berdamai dengan Keluarga



Oooo aku rindu sekali dengan blog ini...

Hai apakabar semuanya? :)

Tulisan 2020 saya buka dengan review film saja. Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI), judul film yang sulit diucapkan dalam satu tarikan nafas, pun singkatannya, saya agak terbata-bata ketika menyebutkannya di depan mba loket tiket.

Saya tidak menghitung ini film keberapa Visinema yang sejak 2019 sudah ditonton, yang jelas setidaknya 2 tahun kebelakang, rumah produksi milik Angga Sasongko ini aktif memproduksi film. Film yang rilis pun secara kualitas OK.

Hasil gambar untuk nanti kita cerita tentang hari ini poster

Bercerita tentang keluarga Narendra (Donny Damara) dan dinamika persaudaraan Angkasa (Rio Dewanto), Aurora (Sheila Dara), dan Awan (Rachel Amanda). Menonton film ini seperti merefleksi diri di dalam keluarga sendiri. Ya mungkin keluarga kita tidak setipe dengan keluarga Narendra di film ini, tapi setidak kita (atau saya deh..) mungkin saja ada di posisi yang sama dengan Angkasa, si anak pertama. Atau Aurora, si anak kedua. Atau Ajeng (Susan Bachtiar), ibu yang lebih banyak diam dan memperhatikan. Hal-hal reflektif ini, sukses menyentuh sisi sensitif penonton. Entah menyentuh memori sedih, perasaan nostalgic, atau sekedar rasa kesamaan dengan posisi si tokoh.

Saya belum pernah membaca bukunya, tapi penceritaan yang back and forth di film ini memang tepat untuk memantik letupan-letupan emosi penonton. Memori, apalagi tentang ingatan-ingatan yang "belum selesai" memang sentimentil, karena memori-memori itu sedikit banyak membentuk diri kita.

Seperti kata ibu saya yang berkomentar beberapa saat setelah keluar bioskop, "tumben ada film Indonesia begini, kayak film Korea." Still don't get it? Ya, film ini bukanlah film yang naratif. Hampir setiap momentnya tidak hanya dibangun lewat dialog, tapi juga detail-detail lain.

Musik menjadi salah satu hal yang saya apresiasi di film ini. Musik dalam film ini benar membangun suasana di tiap momennya. Oh ya, bahkan dari awal pembuka film.

Yah intinya sih, keluarga itu punya jalannya masing-masing dan akan menemukan jalannya masing-masing. Kayak kata Ian Malcolm di Jurassic Park "life finds the way". Keluarga mungkin tidak ideal, untuk menerima sesuatu yang tidak ideal itu butuh proses, dan yah... ada jalannya.

Score: 3.5/5


Monday, December 24, 2018

26 Tahun!

I'm 26 years old now! wah!

Baiklah, saya akan bercerita sedikit bagaimana 2018 secara garis besar memberikan banyak tantangan.
Tahun ini saya banyak bergulat dengan kesabaran. Perihal menekan ego dalam-dalam secara terus menerus menumbuk diri saya. Dengan berbagai macam kejadian, situasi, macam-macam lah. Hal pertama yang paling kentara terjadi pada diri saya, secara memaksa, saya harus keluar dari zona nyaman. Dimana waktu itu mungkin beberapa saat, saya seperti kehilangan diri saya. Tidak ada passion, tidak ada semangat, tidak tahu tujuan. Benar-benar seperti tidak kenal diri saya sendiri. Pilihannya waktu itu, sepertinya saya harus keluar dari situasi ini. Berpikir panjang, sambil berdoa semoga Allah mengijinkan saya mengambil langkah ini. Tapi justru setelah doa-doa panjang, pilihannya malah membuat saya menarik keputusan awal, dan belajar untuk bertahan, untuk sementara. Iya, belajar, bukan mencoba.

Bertahan ini yang menyadarkan saya soal kesabaran. Sambil berpikir bahwa saya tidak bisa lagi hidup suka-suka saya. Tapi mungkin ini yang dipersiapkan semesta menjelang ulang tahun saya hahaha... kado semesta ini ya diri saya sendiri.

Selain urusan sabar ini, sepertinya saya sudah menemukan resolusi untuk 2019. More respect please... and caring. Respek dan peduli, itu resolusi untuk 2019. Lebih banyak mendengar, banyak baca. Dan tidak lupa, bringing back my passion!

Soal jodoh gimana? Perkara jodoh kan bukan setelah menikah lalu selesai. Saya saja belum beres dengan diri sendiri, gimana nanti tiba-tiba ada orang lain masuk, bahkan jadi bagian dari diri saya.
Hehe...

Yah begitulah...

Selamat berlibur kalo begitu...

Sunday, December 2, 2018

Prosa Jakarta


Menjalin hubungan dengan Jakarta.
Capek.
Riuh.
Tidak romantis.
Hangat.
Tidakkah itu sangat manis.
Mencium hangatnya ketika hujan turun.
Atau memeluk malam yang tak berbintang diantara lampu-lampu gedung.
Atau menatap wajahnya kala embun belum saja menguap.
Ia hampir tak pernah tidur.
Menatap dengan matanya yang lelah, yang di bawahnya sudah melingkar garis kurang tidur.
Seraya berkata, mari jalani sehari lagi bersamaku.
Kau pasti bisa.


Sawangan, 2 Desember 2018




Sebanyak apa aku tak mengerti.
Berkali-kali ku lempar dadu.
Berjudi akan jawaban yang terucap.
berkali-kali aku kalah.
Kuhitung langkah.
Tapi semesta mu tak pernah bisa ku masuki.
Aku terbakar jadi abu.


Jakarta, 26 November 2018




Aku jadi ingin membawamu keliling kota ini.
Sambil bercerita tentang apa saja.
Tentang imajinasimu, mimpimu, kekhawatiranmu.
Biarkan aku mendengarkannya.
Ijinkan aku ikut merekamnya dalam memoriku.
Atau, agar aku dapat mengamini setiap doamu.
Kau mungkin tak suka dengan kota ini.
Padat, bising, kasar.
Suatu saat akan kutunjukan, bagaimana kau akan rindu kota ini.
Mungkin bukan karena kota ini semata, tapi karena ini bagian dari semestaku.
Iya, membawamu ke kota ini seperti memperkenalkan pada semestaku.
Tapi itu angan-angan saja, saat hatiku sedang begitu lembut.



Jakarta, 19 November 2018





Kudengar bisikan air yang mengalir di kaca-kaca gedung.
Mereka cerewet sekali.
Bercerita kisa-kisah dari langit.
Mereka berbisik, semua akan baik-baik saja.
Kubilang, tidak, ini hidupku. 
mereka menatapku seraya meluncur ke tanah.
Diucapkannya sampai jumpa.
Katanya, mereka menyimpan ceritaku untuk dibawa ke langit.



Jakarta, 15 November 2018